Perusahaan harus mewujudkan kebutuhan stakeholder-nya terutama yang paling mendasar. Misalnya penyelenggaraan pelatihan untuk setiap pegawai untuk meningkatkan pengetahuan.
Saat
ini tata kelola perusahaan yang baik menjadi kebutuhan bagi sebuah
lembaga keuangan untuk mencapai pertumbuhan yang efisien, layak, dan
konsisten. Dulu, konsentrasi tata kelola hanya terkait dengan pihak yang
terlibat langsung dalam perusahaan seperti pemegang saham. Namun saat
ini, konsentrasi ini telah meluas kepada para pemangku kepentingan yang
lain (stakeholder). Seringkali pemangku
kepentingan lain, yang tidak mempunyai hubungan secara langsung dengan
sebuah perusahaan, justru terkena dampak yang signifikan. Seperti
masyarakat dan komunitas yang berada di sekitar wilayah aliran sungai
akan merasakan dampak kerusakan biodiversity lingkungannya ketika sebuah
proyek dam akan dibangun. Sehingga, selain ditujukan untuk mencapai
tingkat pengembalian keuangan yang adil dan transparan, kesesuaian
Syariah juga perlu diperhatikan dalam aktifitas operasional bisnis yang
melibatkan para pemangku kepentingan yang ada.
Pakar keuangan syariah
Malaysia, Dr Asyraf Wajdi Dusuki, dalam International Conference on
Management from Islamic Perspective yang diselenggarakan tiga tahun lalu
di Kuala Lumpur, kerjasama Islamic Development Bank (IDB) dengan
International Islamic University Malaysia (HUM), menyampaikan
presentasinya mengenai aplikasi manajemen stakeholder dalam lingkup
Syariah. Beliau mengungkapkan tiga bagian utama dalam manajemen
stakeholder. Pertama, pandangan Islam terhadap teori
stakeholder. Kedua, pengelolaan konflik di antara stakeholder. Ketiga,
aplikasi penerapan prinsip maslahah dalam manajemen stakeholder.
Stakeholder
dalam Islam, adalah berbagaipihak yang memiliki hak dengan resiko
akibat dari tindakan perusahaan baik secara sukarela maupun tidak (Iqbal
dan Mirakhor, 2003; 2004; Iqbal dan Molyneux, 2005). Sehingga
stakeholder bukan hanya mereka yang hubungannya terkait secara eksplisit
tertera dalam kontrak ataupun transaksi, tetapi juga mereka yang secara
implisit sebenarnya memiliki keterkaitan dengan aktifitas perusahaan.
Selanjutnya, Islam mewajibkan setiap perusahaan untuk menghormati
unwritten codes of conduct bagi siapa saja stakeholder yang mungkin
memiliki keterkaitan dengan aktifitas perusahaan.
Pada hakikatnya,
kontrak secara implisit inilah yang menjadi inti dari Syariah islam.
Ketika manusia ditunjuk menjadi khalifah di muka bumi, maka secara
otomatis setiap manusia itu sendiri memiliki kontrak yang implisit
dengan Tuhannya pada setiap aktifitas yang dilakukan. Ada kewajiban dan
tanggungjawab yang dipikul oleh setiap manusia untuk mewujudkan
ketaatannya kepada Tuhan. Kegagalan dalam pencapaiannya berarti ia telah
berkhianat dan akan merasakan konsekuensinya di dunia dan akhirat.
Ketika
masyarakat bergerak secara jamaah (bersama) maka segala macam konflik
dapat diminimalisir karena semua bersatu dalam satu kesatuan. Sehingga,
masyarakat tidak lagi saling berebut dan berkompetisi secara tidak
sehat, melainkan saling bekerja sama .dan bergotong royong, sebagaimana
firman-Nya “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya
dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan
yang tersusun kokoh” (QS. Ash Shaff 4). Juga dalam sebuah hadits
diriwayatkan bahwa salah seorang sahabat Nabi melewati sebuah jurang
dimana terdapat mata air tawar. Dia menyukai jurang itu dan berkata,
“Aku ingin mengisolasi diri dariorang lain untuk menyembah Allah! Aku
tidak akan melakukannya sebelum meminta izin dari Rasulullah (saw). ”
Orang itu mengungkapkan keinginannya kepada Nabi, dan Nabi berkata,
“Jangan lakukan itu. Berjuang di jalan Allah adalah lebih baik daripada
(hanya diam) berdoa di rumah selama tujuh puluh tahun” (HR Tirmidzi dan
al-Hakim).
Oleh karena itu. segala tindakan manusia dalam
kesehariannya sangat dipengaruhi oleh hubungannya dengan Tuhan, yang
terinspirasi dari nilai-nilai kejujuran, kebijaksanaan, keadilan,
penghormatan terhadap hukum, kebaikan, kesabaran, toleransi, dan
moralitas, serta bukan dari kelicikan, kesombongan, berorientasi pada
status kedudukan, pamer, ketidakpatuhan, iri, cemburu, ataupun menikam
dari belakang (berkhianat). Sehingga, tata kelola yang “baik” adalah
lebih berarti bila dibandingkan dengan pencapaian finansial semata.
Namun,
bukan berarti Islam anti terhadap profit-making business. Suatu
perusahaan boleh saja memiliki keinginan untuk meningkatkan
kesejahteraan atau tetap pada upaya memaksimalkan kekayaan para pemegang
saham, asalkan dalam prosesnya, setiap aktifitas yang dilakukan tidak
menciptakan masalah atau penyalahgunaan apapun terhadap lingkungan di
sekitarnya. Karena pada kenyataannya, teori ekonomi neoklasikal dengan
doktrin self-interestnya mengungkapkan hal yang sebaliknya, yaitu
menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan pribadi tanpa melihat
dampak lingkungan di sekitarnya.
Pengelolaan Konflik di antara Stakeholder
Para
ilmuwan Barat umumnya mengemukakan penyelesaian konflik dengan tradeoff
di antara keinginan para stakeho/der pada suatu perusahaan. Untuk
memenuhi suatutujuan tertentu, mungkin saja sebagian stakeholder
diuntungkan sementara sebagian yang lain harus menderita kerugian.
Dalam
Islam, semua stakeholder harus dilindungi hak dan kewajibannya dari
segala resiko yang mungkin timbul akibat dari aktifitas perusahaan.
Semua stakeholder diperlakukan sebagai satu kesatuan kelompok. Oleh
karena itu, Islam memiliki sebuah konsep yang memfasilitasi pemenuhan
kebutuhan manusia berdasarkan prioritas usaha manusia. Konsep tersebut
disebut dengan maslahah.
Aplikasi Prinsip Maslahah
Imam
al-Ghazali dalam bukunya al-Mus-tasfa mendefinisikan maslahah sebagai
sebuah ekspresi untuk mencari manfaat dan meninggalkan mudarat. Beliau
kemudian membagi tiga kategori kebutuhan manusia sebagai wujud
perlindungan terhadap maslahah tersebut. Pertama, daruriyyat, yaitu
kebutuhan yang paling mendasar dan harus dipenuhi untuk mencapai kelima
tujuan Syariah, yang jika terganggu maka dapat mengancam kestabilan
masyarakat. Kelima tujuan Syariah tersebut adalah perlindungan agama,
jiwa, intelektual, keturunan, dan kepemilikan harta.
Kedua,
hajiyyat, adalah kebutuhan pelengkap, penyeimbang, untuk
mengharmon-isasikan kebutuhan dasar. Kebutuhan ini juga bertujuan untuk
membuang segala kesulitan. Dan yang terakhir, tahsiniyyat. yaitu
kebutuhan tambahan memperindah kehidupan untuk mencapai “kesempurnaan”.
Oleh
karena itu. perusahaan harus mewujudkan kebutuhan stakeholdemya
terutama yang paling mendasar. Misalnya penyelenggaraan pelatihan untuk
setiap pegawai dalam rangka meningkatkan pengetahuan sebagai wujud
pemenuhan kebutuhan intelektualnya. Wallahu alam.
Labels : wallpapers Mobile Games car body design Hot Deal


